Selasa, 24 April 2012

MAKALAH:PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA DEWASA


PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA DEWASA
Makalah Oleh: Sulimah
Jiwa keagamaaan yang termasuk aspek rohani (psikis) akan sangat tergantung dari perkembangan aspek fisik. Begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa kesehatan fisik akan berpengaruh pada kesehatan mental. Selain itu juga ditentukan oleh tingkat usia. Setiap masa perkembangan manusia memiliki ciri-ciri tertentu. Begitu juga dengan perkembangan jiwa keagamaan.

A. Macam-macam Kebutuhan
Menurut J.P. Guilford, terdiri dari
1. Kebutuhan individual
Pada kebutuhan individual ini semuanya berhubungan dengan kebutuhan jasmani. Kebutuhan ini bergantung pada diri seseorang. Bagaimana dia merawat dan menjaga keseimbangan tubuhnya dalam kehidupannya. Kebutuhan invidual ini terdiri dari:
a) Homeotatis (kebutuhan yang dituntut tubuh dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan tubuh akan zat; protein, air, garam, mineral, vitamin, oksigen dan lainnya.
b) Regulasi temperature, penyesuaian tubuh dalam usaha mengatasi kebutuhan akan perubahan temperature badan. Pusat pengaturannya berada di bagian otak yang disbut Hypothalsum.
c) Tidur, kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi agar terhindar dari gejala halusinasi.
d) Lapar, kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk membangkitkan energi tubuh seperti organis.
e) Seks, kebutuhan seks sebagai salah satu kebutuhan yang timbul dari dorongan mempertahankan jenis.
2. Kebutuhan social (rohaniah)
kebutuhan social manusia tidak disebabkan pengaruh yang datang dari luar (stimulas) seperti layaknya pada binatang. Kebutuhan social pada manusia berbentuk nilai. Jadi kebutuhan itu bukan semata-mata kebutuhan biologis melainkan juga kebutuhan rohaniah. Bentuk kebutuhan ini terdirio dari; pujian dan binaan, kekuasaan dan mengalah, pergaulan, imitasi dan simpati, dan perhatian.

3. Kebutuhan akan agama
Manusia disebut sebagai makhluk yang beragama (homo religious). Allah membekali manusia itu dengan nikmat berpikir dan daya penelitian, diberinya pula rasa bingung dan bimbang untuk memahami dan belajar mengenali alam sekitarnya sebagai imbangan atas rasa takut terhadap kegarangan dan kebengisan alam itu. Hal inilah yang mendorong manusia tadi untuk untuk mencari-cari suatu kekuatan yang dapat melindungi dan membimbingnya disaat-saat yang gawat.
Dorongan beragama merupakan salah satu dorongan yang bekerja dalam diri manusia sebagaimana dorongan-dorongan lainnya, seperti makan, minum, intelek dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu maka dorongan beragama pun menuntut untuk dipenuhi sehingga pribadi anusia itu mendapat kepuasan dan ketenangan. Dorongan beragama juga merupakan kebutuhan insaniah yang tumbuhnya dari gabungan berbagai factor penyebab dari rasa keberagamaan.

Menurut Dr. Zakiah Daradjat, dalam bukunya "Peranan Agama dalam Kesehatan Mental", terdiri dari:
1. Kebutuhan primer
yaitu kebutuhan jasmaniah: makan, minum, seks dan sebagainya (kebutuhan ini didapat manusia secara fitrah tanpa dipelajari).



2. Kebutuhan sekunder
yaitu kebutuhan rohaniah: Jiwa dan social. Kebutuhan ini hanya terdapat pada manusia dan sudah dirasakan sejak manusia masih kecil.

B. Sikap keberagamaan pada masa remaja
Sebagai akhir dari masa remaja adalah masa dewasa, atau ada juga yang menyebutnya masa adolesen. Ketika mereka meginjak dewasa, pada umumnya mempunyai sikap: menemukan pribadinya, menentukan cita-citanya menggariskan jalan hidupnya ,bertanggung jawab, menghimpun norma-norma sendiri.
Sikap-sikap di atas merupakan sikap yang mengawali masa dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya pada masa dewasa, seseorang telah menunjukan kematangan jasmani dan rohaninya, sudah memiliki keyakinan dan pendirian yang tetap, serta perasaan social sudah berkembang. Tanggung jawab individu, social dan susila sudah mulai tampak dan ia sudah mulai mampu berdiri sendiri.
Gambaran psikis pada masa dewasa seperti di atas akan nampak pada kesetabilan seseorang di dalam menentukan pandangan hidup atau agama yang harus di anutnya berdasarkan kesadaran da keyakinan yang di anggap benar dan diperlukan dalam hidupnya.ini mengandung pengertian bahwa apa yang dilakukan seseorang dari paham keagamaan yang di anutnya akan dipegang teguh dan diwujudkan lewat tingkah laku keagamaannya dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh tanggung jawab.
Tingkah laku keagamaan seseorang pada masa dewasa ini berdasarkan tanggung jawab keagamaan yang ia pegangi, ia yakini secara mendalam dan pahami sebagai jalan hidup. Hal itu sebagai akibat dari adanya kestabilan dalam pandangan hidup keagamaan, yang dengan demikian akan didapati pula adanya kestabilan dalam tingkah laku keagamaannya, dimana segala perbuatan dan tyingkah laku keagamaannya senantiasa dipertimbangkan masak-masak yang dibina diatas tanggung jawab, bukan atas dasar meniru dan ikut-ikutan saja.
Kestabialan dalam pandangan hidup beragama dan tingkah laku keagamaan seseorang, bukanlah kestabilan yang statis, melainkan kestabilan yang dinamis, di mana pada suatu ketika ia mengenal juga adanya perubahan-perubahan. Adanya perubahan itu terjadi karena proses pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang ada.
Dengan demikian orang dewasa sebenarnya mempunyai tanggung jawab yang besar mengenal apa yang harus dianut dan dikerjakannya.tanggung jwab itu bias meliputi tanggung jawab secara individu, social, maupun susila serta agama. Bertanggung jawab secara individu berarti berani berbuat harus berani menanggung resiko sebagai tanggung jawab perbuatannya. Bertangung jawab secara sosial berarti semua perbuatan dipikirkan dan diperhitungkan akibat-akibatnya terhadap orang lain dan terhadap masyarakat.
Bertanggung jawab secara susila dengan norma-norma susila, perbuatan yang tidak bertentangan dengan etika, dan lebih dari itu semuaperbuatan dan tingkah laku keagamaaanya maupun aktifitas kehidupan lainnya hanya dituntut bertanggung jawab kepada Tuhan yang diimaninya. Di sinilah yang nantinya akan melahirkan cirri lain bagi seorangn dewasa, yaitu adanya kemandirian, di mana segala tingkah laku keagamaanya sudah dipikirkan masak-masak, dikerjakan sendiri dan dipertranggung jawabkan, walaupun kadang-kadang apa yang dilakukan tersebut sama dengan maksud orang lain atau justru malah mendatangkan kritik bagi dirinya.
Kemantapan jiwa orang dewasa setidaknya memberikan gambaran mengenai bagaimana sikap dan tingkah laku keagamaan pada orang dewasa. Atas dasar ini acap kali sikap dan tingkah laku keagmaan seseorang di usia dewsa sulit untuk di ubah, kalaupun terjadi perubahan, maka sesungguhnya itu berangkat dari pertimbangan yang sangat matang dan sungguh-sungguh.


Apabila nilai-nilai agama yang mereka pilih untuk dijadikan pandangan hidup, maka sikap keberagaman akan terlihat pula dalam pola kehidupan mereka. Sikap keberagaman tersebut akan dilestarikan sebagai identitas dan kepribadian mereka. Sehingga dapat membawa mereka secara mantap untuk dapat menjalankan ajaran agama yang mereka anut. Sehingga tidak jarang ini akan menimbulkan ketaatan yag berlebihan dan menjurus ke sikap fanatisme. Sikap keberagamaan yang seperti ini umumnya dilandasi oleh pendalaman pengertian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Sikap keberagaman bagi orang dewasa adalahbukan hanya sekedar ikut-ikutan tetapi adalah sikap hidup baginya.

C. Ciri-ciri sikap keberagamaan pada masa dewasa
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagaman pada orang dewasa antara lain memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1. menerima kebenaran agama berdasar pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2. Cenderung bersikap realis sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikapa dan tingkah laku.
3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajaridan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagaman merupakan realisasi dari sikap hidup.
5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6. Bersikap lebih kritis terhadapa materi ajran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7. Sikap keberagaman cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajkaran agama yang diyakininya.
8. Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagaman dengan kehidupan social sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi social keagamaan sudah berkembang.
.....................................................
B. Pembentukan dan Penyimpangan Sikap Keagamaan

Dr. Mar’at mengemukakan ada 13 pengertian sikap, yang dirangkum menjadi 4 rumusan berikut :


Pertama sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan (di rumah, sekolah, dll) dan senantiasa berhubungan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa atau pun ide, sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek. Kedua, Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu, dengan memiliki kadar intensitas yang tidak tentu sama terhadap obyek tertentu, tergantung pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan di saat dan situasi berbeda belum tentu cocok. Ketiga, sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu, karena ia merupakan bagian dari konteks persepsi atau pun kognisi individu. Keempat sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan, karenanya sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan tidak memadai. [1]
Dari rumusan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan demikian sikap merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara komplek. [2] Komponen kognisi akan menjawab apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang obyek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap obyek. Komponen konasi berhubungan dengan kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap obyek. [3]
Faktor penentu sikap, baik sikap positif atau pun sikap negatif, adalah motif, yang berdasarkan kajian psikologis dihasilkan oleh penilaian dan reaksi afektif yang terkandung dari sebuah sikap. Motif menentukan tingkah laku nyata (overt behavior) sedangkan reaksi afektif bersifat tertutup (covert behavior).[4]
Dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berfikir, merasa dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap sesuatu obyek. Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan pengaruh bawaan (factor intern) seseorang, serta tergantung kepada obyek tertentu. [5] Karena Sikap dipandang sebagai perangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu [6]
Pemberian dasar jiwa keagamaan pada anak, tidaklah dapat dilepaskan dari peran orang tua sebagai pendidik di lingkungan rumah tangga. Pengenalan agama sejak usia dini, akan sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan kesadaran dan pengalaman beragama pada anak tersebut. Karenanya adalah sangat tepat, Rasul SAW menempatkan orang tua sebagai penentu bagi pembentukan sikap dan pola tingkah laku keagamaan seorang anak, sebagaimana sabdanya : “setiap anak dilahirkan atas fithrah, dan tanggung jawab kedua orang tuannyalah untuk menjadikan anak itu nashrani, Yahudi atau Majusi.[7] Dimana fithrah yang dapat diartikan sebagai potensi untuk bertauhid (dapat disebut sebagai jiwa keagamaan), merupakan potensi physikis pada manusia, yang diakui adanya oleh para ahli psikologi transpersonal. Aliran psikologi ini juga mencoba melakukan kajian ilmiah terhadap demensi yang selama ini merupakan kajian dari kaum kebathinan, rohaniawan, agamawan dan mistikus.[8] Jadi, keluarga sebagai lingkungan yang pertama ditemui anak, sangat berperan dalam pembentukan pola perilaku/ sikap anak. Adanya perbedaan individu, pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan situasi lingkungan yang dihadapi oleh masing-masing.[9]
Karena itu, pembinaan dan pengembangan fithrah sebagai potensi psikis manusia, untuk melahirkan sikap dan pola tingkah laku keagamaan, dapat dibentuk dengan mengkondisikan lingkungan sesuai dengan ketentuan norma-norma agama. Dan norma-norma tersebut akhirnya terintegrasi dalam kepribadian individu yang bersangkutan.
Walau norma-norma agama telah menjadi bagian dari kepribadian seseorang, pada kenyataannya sering ditemukan adanya penyimpangan-penyimpangan, yang disebabkan oleh sikap yang bersangkutan (baik perseorangan atau kelompok) terhadap keyakinan agamanya mengalami perubahan.
Penyimpangan sikap keagamaan dapat menimbulkan tindakan yang negatif, apalagi penyimpangan itu dalam bentuk kelompok. Memang, penyimpangan dalam bentuk kelompok ini, sering diawali oleh penyimpangan individual, tapi individual tersebut mempunyai pengaruh besar. Seseorang yang mempunyai pengaruh terhadap kepercayaan dan keyakinan orang lain, sebagai bagian dari tingkat pikir transenden. [10] Akan sangat berpengaruh terhadap penyimpangan kelompok.
Sikap keagamaan sangat erat hubungannya dengan keyakinan/ kepercayaan. Dan keyakinan merupakan hal yang abstrak dan susah dibuktikan secara empirik, karenanya pengaruh yang ditimbulkannya pun lebih bersifat pengaruh psikologis.
Keyakinan itu sendiri merupakan suatu tingkat fikir yang dalam proses berfikir manusia telah menggunakan kepercayaan dan keyakinan ajaran agama sebagai penyempurna proses dan pencapaian kebenaran dan kenyataan yang terdapat di luar jangkauan fikir manusia.[11] Karenanya penyimpangan sikap keagamaan cenderung di dasarkan pada motif yang bersifat emosional yang lebih kuat dan menonjol ketimbang aspek rasional.
Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada tingkat fikir seseorang ( tingkat fikir materialistik dan tingkat fikir transendental relegius ), sehingga akan mendatangkan kepercayaan/ keyakinan baru kepada yang bersangkutan (baik indivual maupun kelompok). Jika keyakinan itu bertentangan atau tidak sejalan dengan keyakinan ajaran agama tertentu, maka akan terjadi sikap keagamaan yang menyimpang.

Penyimpangan sikap keagamaan ini, disamping menimbulkan masalah pada agama tersebut, juga sering mendatangkan gejolak dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat.

C. Penyebab Terjadinya Penyimpangan sikap Keagamaan
Perubahan sikap keagamaan adalah awal proses terjadinya penyimpangan sikap keagamaan pada seseorang, kelompok atau masyarakat. Perubahan sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah walaupun sulit.[12]Karenanya perubahan sikap, dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1. adanya kemampuan lingkungan merekayasa obyek, sehingga menarik perhatian, memberi pengertian dan akhirnya dapat diterima dan dijadikan sebagai sebuah sikap baru.
2. terjadinya konversi agama, yakni apabila seseorang menyadari apa yang dilakukannya sebelumnya adalah keliru, maka ia tentu akan mempertimbangkan untuk tetap konsisten dengan sikapnya yang ia sadari keliru. Dan ini memungkinkan seseorang untuk bersikap yang menyimpang dari sikap keagamaan sebelumnya yang ia yakini sebagai suatu kekeliruan tadi.
3. penyimpangan sikap keagamaan dapat juga disebabkan karena pengaruh status sosial, dimana mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari nilai dan norma sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status sosialnya.
4. penyimpangan sikap keagamaan dari sebelumnya, yaitu jika terlihat sikap yang menyimpang dilakukan seseorang (utamanya mereka yang punya pengaruh besar), ternyata dirasakan punya pengaruh sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat, maka akan dimungkinkan terjadinya integritas sosial untuk menampilkan sikap yang sama, walau pun disadari itu merupakan sikap yang menyimpang dari sikap sebelumnya.
D. Beberapa Solusi Alternatif
Sikap keagamaan akan tidak mengalami distorsi, manakala norma/nilai yang melandasi keyakinan yang melahirkan sikap itu mampu menjawab berbagai hal yang menyebabkan terjadinya perubahan/ pergeseran sikap tadi.
Suatu sikap akan tidak bergeser, walau adanya lingkungan merekayasa obyek, untuk menarik perhatian, kalau norma/ nilai yang mendasari keyakinan untuk lahirnya sebuah sikap keagamaan, dapat menampilkan daya tarik lebih besar dari apa yang ditampilkan oleh lingkungan.
Kemampuan penyampai informasi dan komunikator nilai/ norma agama untuk meyakinkan kebenaran agama, dengan dapatnya teruji pada kehidupan, akan menghindarkan terjadinya proses konversi agama pada seseorang.
Pentingnya memperhatikan masalah status social dalam kehidupan beragama , adalah hal yang mutlak dilakukan, jika tidak diinginkan adanya mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari nilai dan norma sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status sosialnya. Hal ini juga telah disampaikan Rasul SAW., bahwa ‘kefakiran dekat dengan kekufuran’ (al Hadits). Dan kekufuran berarti penyimpangan dari sikap sebelumnya. Karenanyanya, juga kehidupan keagamaan juga harus mengedepankan kemaslahatan kehidupan masyarakat,

E. Penutup
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa :

1. Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada tingkat fikir seseorang , sehingga akan mendatangkan kepercayaan/ keyakinan baru kepada yang bersangkutan (baik indivual maupun kelompok).
2. Diantara penyebab terjadinya penyimpangan sikap keagamaan, antara lain :
a. adanya kemampuan lingkungan menarik perhatian
b. terjadinya konversi agama
c. karena pengaruh status social
d. Hal-hal yang dinilai sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat
3. Untuk menghindari terjadinya penyimpangan sikap keagamaan, ada beberapa solusi alternatif, antara lain :
a. Menyajikan agama dengan performa yang senantiasa menarik
b. Menyajikan agama dalam bentuk sesuatu kebenaran yang tidak pernah bergeser dan senantiasa teruji dan dapat diuji.
c. Mengupayakan pengangkatan status social pengikut suatu agama.
d. Menampilkan nilai/ norma agama dengan mengedepankan apa yang dinilai sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar